ULYSSESS MORE I


clip_image002

Jason dan Julia, sepasang anak kembar berumur 11 tahun, baru saja pindah dari London ke sebuah rumah besar yang ada di pesisir Inggris. Rumah baru mereka dipenuhi dengan terowongan-terowongan yang simpang siur dan perabotan-perabotan aneh dari segala penjuru dunia. Semuanya itu membuat mereka tidak sabar untuk segera menjelajahinya dan mengetahui semua rahasianya. Tak lama berada di rumah itu, Jason, Julia, dan teman mereka Rick, menemukan sebuah pintu misterius di balik sebuah lemari tua. Tapi, tidak ada satu pun kunci di rumah itu yang bisa membukanya. Ada apakah sebenarnya di balik pintu tersebut? Dan kenapa sepertinya ada orang lain yang sudah berusaha untuk membukanya tapi tak berhasil? Jason, Julia, dan Rick bertekad untuk memecahkan misteri ini, apa pun risikonya...

Ulysses Moore: Pintu Waktu merupakan buku yang sangat menarik untuk dibaca, apalagi untuk kamu yang gemar berpetualang dan suka untuk memecahkan misteri. Dengan ilustrasi-ilustrasi hitam putih yang unik, buku ini akan membuatmu terbawa ke dalam dunia Ulysses Moore yang penuh dengan misteri.

Kutipan isi buku Ulysses Moore: Pintu Waktu

– Bab 1 –

ARGO MANOR

Rumah itu tiba-tiba muncul dari balik tikungan. Menara batunya mencuat seperti jari yang menunjuk ke langit. Laut berwarna biru-kelabu menjadi latar belakang rumah yang besar itu.

“Wow,” Nyonya Covenant terperangah.

Di belakang kemudi mobil, suaminya hanya tersenyum. Dia mengarahkan mobilnya memasuki gerbang besi yang berdiri angker – sepertinya dibuka khusus untuk menyambut kedatangan mereka, tebak Tuan Covenant – dan memarkir mobilnya di halaman.

Nyonya Covenant keluar dari mobil diiringi gemeretak kerikil putih yang terinjak di bawah kakinya. Ia mengerjapkan mata dan terpana, sambil menyentuhkan jari-jemarinya ke bibir seolah-olah belum yakin dengan apa yang dilihatnya.

Rumah itu bertengger di atas sebuah tebing tinggi yang menghadap ke laut. Jauh di bawah tebing, ombak berdebur menghantam karang. Udara terasa tajam dan asin. Rumah itu dikepung birunya laut dan langit, membuatnya seolah-olah akan ditelan oleh alam sekitar. Deretan pepohonan berdiri rapi di setiap sisinya, diselingi oleh bunga-bunga berbagai warna. Dari tepi tebing, pantai berpasir di bawah sana hampir tak terlihat. Lebih jauh lagi, terlihat teluk Kilmore Cove yang dikelilingi oleh sebuah kota dengan rumah-rumah yang dibangun berdekatan dengan laut. Setiap rumah, setiap orang, seluruh kota – seakan terpusat pada keindahan laut itu.

Saat berdiri di halaman dengan mata berkedap-kedip penuh rasa takjub, Nyonya Covenant didekati oleh seorang laki-laki tua. Wajahnya dihiasi keriput yang terlihat jelas dan janggut putih yang terpangkas rapi.

Dengan tatapan yang dalam dan penuh selidik, laki-laki itu berkata, “Nama saya Nestor, saya adalah pengurus di Argo Manor ini.”

Jadi itu nama rumah ini: Argo Manor. Aneh sekali, pikir Nyonya Covenant. Sementara itu, pengurus rumah mulai berjalan terpincang-pincang ke arah rumah. Ia memimpin pasangan suami istri itu ke sebuah teras berukir yang menawarkan pemandangan menakjubkan ke arah laut di bawah sana.

“Apa kau yakin kita tidak salah?” Nyonya Covenant bertanya ragu-ragu. Tangannya mengusap-usap dinding Argo Manor seakan-akan ingin meyakinkan dirinya bahwa rumah itu nyata dan semua ini bukanlah sekadar mimpi indah belaka.

Tuan Covenant memegang tangan istrinya. Reaksi sang istri saat melihat tempat ini membuatnya gembira. Istrinya sudah jatuh hati padahal mereka belum melangkah ke dalam! “Sekarang bersiap-siaplah,” Tuan Covenant berbisik di telinga istrinya.

Bagian dalam Argo Manor bahkan lebih menakjubkan daripada bagian luarnya. Nestor menyeret mereka dalam sebuah tur kilat mengelilingi Argo Manor, meluncur masuk dan keluar ruangan, membuka pintu-pintu, menyibakkan tirai-tirai, kemudian cepat-cepat memandu suami istri Covenant ke ruangan berikutnya. Rumah itu tua, namun memiliki… karakter. Ya, itulah kata yang tepat, pikir Nyonya Covenant. Karakter, seolah-olah rumah itu merupakan makhluk hidup dan bukan sekadar rumah dari batu dan kayu. Perabotannya merupakan paduan aneh dari berbagai gaya, yang tampaknya berasal dari seluruh penjuru dunia: sebuah vas Mesir, sebuah meja Venesia, permadani-permadani Persia, sampai sebuah lukisan dari Hudson River School. Namun, entah bagaimana semuanya terlihat serasi. Setiap benda terlihat pantas berada di rumah itu.

“Katakan padaku semua ini nyata,” gumam Nyonya Covenant pada suaminya. “Semua ini milik kita? Katakan padaku aku tak bermimpi.”

Tuan Covenant meremas tangan istrinya. “Semua ini nyata, Sayang,” jawabnya. “Selamat datang di rumah barumu.”

Pengurus rumah membimbing mereka menuju sebuah ruang duduk mewah yang memiliki langit-langit kuno dengan balok-balok penyangga yang dibiarkan tak tertutup. Dinding-dindingnya terbuat dari batu. Ruang itu dihubungkan oleh sebuah lorong kecil dengan langit-langit melengkung. Di seberang ruangan terdapat sebuah pintu lain – pintu dari kayu berwarna gelap yang terpasang pada dinding di sisi yang jauh.

“Ini adalah salah satu ruangan yang paling tua,” kata Nestor sambil tersenyum puas. “Pemilik sebelumnya, Tuan Ulysses Moore, sangat perhatian terhadap hal-hal tertentu. Beliau bersikeras ruangan-ruangan di rumah ini tidak ada yang boleh diubah. Memang, waktu akhirnya mengubah segalanya. Dulu pernah ada menara abad pertengahan di rumah ini, tapi kemudian hancur oleh badai. Satu-satunya perubahan yang diizinkan Tuan Moore adalah menyegel jendela-jendela yang tidak cukup rapat untuk menahan embusan angin dan, tentu saja, memasang kabel listrik. Walaupun, harus kuakui,” Nestor menambahkan, “kami masih tetap bermasalah dengan embusan angin.”

“Jason pasti akan menyukai tempat ini,” kata Tuan Covenant.

Istrinya tidak menanggapi. Pikirannya tertuju pada putrinya, Julia.

“Ada dua anak, bukan begitu?” tanya pengurus rumah.

“Ya. Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Keduanya sebelas tahun,” jawab Nyonya Covenant. “Anak kembar.”

Mata Nestor bersinar. “Dan saya yakin mereka anak-anak yang ceria dan penuh semangat! Betapa bahagianya nanti mereka di sini,” katanya. “Jangan mengkhawatirkan mereka, Nyonya. Rumah ini mungkin terisolasi dari rumah-rumah lain, tapi rumah ini menawarkan banyak hal menarik untuk anak-anak yang gemar bertualang.”

“Oh, benar sekali, mereka memang gemar bertualang,” jawab Nyonya Covenant sambil tersenyum. Ia tak mengkhawatirkan Jason. Putranya itu memiliki daya imajinasi yang hebat dan Nyonya Covenant tahu kalau Jason akan langsung merasakan keajaiban tempat ini. Tapi Julia berbeda. Ia seorang gadis kota yang menikmati hiruk-pikuk kehidupan kota: kebisingan, kesibukan yang luar biasa, wajah-wajah yang berseliweran, dan beragam budaya.

Tuan Covenant tampaknya bisa membaca pikiran istrinya. “Mereka akan baik-baik saja,” kata Tuan Covenant meyakinkan. “Termasuk Julia. Kehidupan di sini akan baik untuk mereka berdua.”

Nyonya Covenant mengangguk. “Ya, tentu saja,” ucapnya pada Nestor. “Si kembar akan merasa sangat senang.”

“Sempurna,” desis Nestor, mengusap-usap janggutnya. “Sempurna sekali. Jadi kita sepakat?” Ia pun mengulurkan tangannya untuk menjabat Tuan Covenant.

Tuan Covenant menjelaskan pada istrinya bahwa pemilik rumah sebelumnya, Ulysses Moore, adalah orang yang eksentrik; seorang laki-laki tua dengan ide-ide aneh. Ia telah berpesan agar rumah itu disewakan hanya kepada keluarga muda yang setidaknya memiliki dua orang anak.

Nestor mengangguk membenarkan. “Ia menginginkan rumah ini selalu ramai dan hidup,” jelas sang pengurus rumah . “Tuan Moore percaya bahwa sebuah rumah tanpa suara anak-anak sama saja seperti orang mati.”

Ia berjalan memimpin suami-istri itu kembali ke luar ruangan. Sebelum Nyonya Covenant melangkah keluar, sesuatu membuatnya berhenti di bawah lorong yang langit-langitnya melengkung. Nyonya Covenant membalikkan badannya dan mengamati pintu di dinding sebelah timur dengan lebih saksama. Kayu pintu itu terlihat gosong di beberapa tempat, seakan-akan pintu itu pernah selamat dari kebakaran. Di bagian yang lain terlihat banyak goresan, mulai dari parutan dangkal sampai bekas bacokan yang dalam. Seolah-olah – mungkinkah? – seseorang pernah mengampak pintu itu dengan penuh kemarahan.

“Apa yang terjadi pada pintu itu?” tanya Nyonya Covenant.

Nestor berhenti, tatapannya beralih dari pintu ke arah Nyonya Covenant, lalu menggelengkan kepalanya.

“Ah, maafkan saya,” jawabnya. “Itu perintah Tuan Moore. Pintu itu seharusnya sudah sejak lama diganti. Anggap saja pintu itu tidak ada.” Ia berjalan mendekati pintu itu, menyilangkan lengan-lengannya, dan menatap pintu itu seperti menatap musuh lamanya. “Pintu tua ini sudah mengalami banyak hal. Dulu sekali kunci-kunci untuk membukanya, em, hilang. Anda lihat keempat lubang ini? Tuan Moore percaya lubang-lubang ini adalah lubang kunci. Ia mencoba membukanya dengan semua cara yang bisa dilakukan, tapi tidak ada gunanya. Pintu ini,” Nestor menegaskan, “telah tertutup untuk selamanya.”

“Pintu itu menuju ke mana?” tanya Tuan Covenant penasaran.

Sang pengurus rumah mengangkat bahu. “Siapa yang tahu? Bagiku itu misteri. Rumah tua ini penuh rahasia. Mungkin dulu pintu ini adalah jalan pintas menuju tangki air tua, tapi tangki itu saja sekarang sudah tak ada lagi.” Ia menatap pintu itu sambil berpikir, “Pintu ini tidak ada fungsinya.”

Dengan lembut Nyonya Covenant mengusapkan tangannya menyusuri kayu pintu yang hangus dan tergores-gores itu. Timbul rasa cemas di hatinya. “Mungkin kita harus meletakkan sesuatu di depannya,” katanya sambil berbalik dan menatap suaminya. “Aku tak mau anak-anak nanti mencoba membukanya.”

“Ide bagus,” Nestor cepat-cepat menyetujuinya seraya berjalan terpincang-pincang ke luar ruangan itu. “Itu yang terbaik untuk dilakukan. Jangan sampai anak-anak punya gagasan untuk mencoba-coba membukanya.”

 

Copyright 2008 All Rights Reserved | Revolution church Blogger Template by techknowl | Original Wordpress theme byBrian Gardner